Laporan terbaru dari lembaga Transparency International (TI) yang mengeluarkan hasil survei per tahun untuk negara korup. Berikut hasil survei per akhir Desember 2014, menyebut ranking Indonesia sebagai negara bersih dari korupsi masih belum membanggakan.
Indonesia masih menempati posisi bawah untuk negara terbersih dari korupsi. Tahun ini, Indonesia berada di peringkat 107 dari 177 bersama Argentina dan Djibouti. Peringkat ke-107 itu berarti Indonesia memiliki skor 34 dengan skala 0-100.
TI menggunakan metode Indeks Persepsi Korupsi. Dengan asumsi, skor 100 dianggap negara paling bersih dan skor paling rendah berarti negara paling korup.
Pada 2004, Indonesia mendapatkan poin 20 sebagai negara terbersih dari korupsi. Kemudian di 2012 dan 2013 Indonesia poinnya naik menjadi 32.
Di 2012, peringkat Indonesia berada pada posisi 118 dari 176 negara. Dan pada 2013 dengan poin yang sama, Indonesia naik peringkat ke posisi 114 dari 177 negara.
Korea Utara dan Somalia menjadi negara paling korup dengan skor delapan. Kedua negara itu berada di peringkat paling bontot yakni 174.
berikut kasus korupsi terbesar di indonesia sepanjang sejarah Indonesia :
Daftar dibawah ini dianggap sebagai skandal korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia, total kerugian negara akibat para koruptor diatas bahkan rata rata mencapai angka trilyunan rupiah. . .
- Bank Century
Dalam laporan BPK ketika itu menunjukkan beberapa pelanggaran yang dilakukan Bank Century sebelum diambil alih. BPK mengungkap sembilan temuan pelanggaran yang terjadi. Bank Indonesia (BI) saat itu dipimpin oleh Boediono–sekarang wapres–dianggap tidak tegas pada pelanggaran Bank Century yang terjadi dalam kurun waktu 2005-2008.
BI, diduga mengubah persyaratan CAR. Dengan maksud, Bank Century bisa mendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Kemudian, soal keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK)–saat itu diketuai Menkeu Sri Mulyani–dalam menangani Bank Century, tidak didasari data yang lengkap. Pada saat penyerahan Bank Century, 21 November 2008, belum dibentuk berdasar UU.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga diduga melakukan rekayasa peraturan agar Bank Century mendapat tambahan dana. Beberapa hal kemudian terungkap pula, saat Bank Century dalam pengawasan khusus, ada penarikan dana sebesar Rp 938 miliar yang tentu saja, menurut BPK, melanggar peraturan BI. Pendek kata, terungkap beberapa praktik perbankan yang tidak sehat. - BLBI
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun.
Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun. Bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI.
Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya yang terlibat pengucuran BLBI?Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru Soepraptomo? telah dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga tahun penjara, yang dianggap terlalu ringan oleh para pengamat. Ketiganya kini sedang naik banding. Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI, hanya beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan Haryono (Bank Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa), Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono (Bank Modern).
Yang jelas, hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya enam kasus Abdullah Puteh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang kini non aktif ini menjadi tersangka korupsi APBD dalam pembelian helikopter dan genset listrik, dengan dugaan kerugian Rp 30 miliar. - PLTU PAITON I Probolinggo
Kasus pidana Paiton I sudah tersedia bukti permulaan yang kuat yakni hasil audit investigasi BPKP . Kasus dugaan korupsi pengadaan listrik swasta Paiton I di Probolinggo bermula dari Lmarkup terhadap capital cost sebesar 48 persen dari seluruh nilai proyek yang sebesar Rp 7,015 triliun. Sebenarnya, Paiton I telah diaudit BPKP dan due diligence SNC-Lavalin.
Kedua lembaga tersebut jelas-jelas menyatakan ada mark up dan rekayasa besar-besaran pada sisi proses penyiapan listrik swasta dan proses investasinya. Dalam Laporannya, BPKP membedah secara gamblang proses Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) yang terjadi, mulai dari perencanaan, proses mendapatkan Surat Ijin Prinsip, pembiayaan, pelaksanaan, produksi, distribusi, konsumsi, pembayaran dan berbagai previlege yang didapat dengan merugikan keuangan negara sekitar
Kasus ini ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung). Dalam kasus tersebut bekas Direktur Utama PLN Zuhal dan bekas Dirut PLN Djiteng Marsudi sudah diperiksa. Menurut hasil penyelidikan Kejagung, proyek Paiton I dinilai melanggar keputusan presiden mengenai prosedur pengadaan listrik di lingkungan departemen yang harus melalui prosedur lelang. Indikasi kolusi terlihat dalam proses negosiasi melalui bukti Surat Menteri Pertambangan dan Energi tertanggal 13 Februari 1993.Dalam surat itu dinyatakan persetujuan, kesepakatan, dan nilai prematur yang tak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Penyelidikan kasus Paiton I dihentikan Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 2001. Pada akhir 2002, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memerintahkan Kejakgung melanjutkan proses penyidikan kasus PLTU Paiton I dalam sidang praperadilan yang diajukan oleh kelompok masyarakat. Namun, Kejagung tidak bertindak. Pada akhir 2004, sebuah organisasi non-pemerintah juga telah melaporkan kasus Paiton I ke KPK, namun anehnya hingga sekarang lembaga pemberantas korupsi itu tidak melakukan tindakan apapun. - Soeharto dan keluarganya
Banyak pendapat dari masyarakat mengenai keluarga suharto baik selama menjabat maupun sesudah lengser tahun 1998. terlepas dari itu suharto dituduh melakukan korupsi dan menimbulkan kerugian negara trilyunan rupiah. bahkan menurut majalah Time sebesar US$ 15 milyar atau Rp. 150 Triliun.
Kasus dugaan korupsi Soeharto salah satunya menyangkut penggunaan uang negara oleh 7 buah yayasan yang diketuainya, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada 1995, Soehartomengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999 Uang negara 400 miliar mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara tahun 1996 dan 1998.
Asalnya dari pos Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden. Dalam berkas kasus Soeharto, terungkap bahwa Haryono Suyono, yang saat itu Menteri Negara Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, mengalihkan dana itu untuk yayasan. Ketika itu, dia masih menjadi wakil ketua di Dana Mandiri. Bambang Trihatmodjo, yang menjadi bendahara yayasan ini, bersama Haryono, ternyata mengalirkan lagi dana Rp 400 miliar yang telah masuk ke yayasan itu ke dua bank miliknya, Bank Alfa dan Bank Andromeda, pada1996-1997, dalam bentuk deposito. Sumber : Wikipedia
Majalah TIME Edisi 14 Mei 1999 Volume 153 Nomor 20 menulis artikel tentang kekayaan mantan Presiden Soeharto, dengan judul ''Soeharto Inc. How Indonesia's Longtime Boss Built a Family Fortune'' (Perusahaan Soeharto. Kiat Boss Indonesia Kawakan Membangun Kekayaan Keluarga, red).
Pada edisi yang sama, majalah itu juga memberitakan adanya transfer dana sebesar US$ 9 miliar dari Swiss ke sebuah rekening bank di Austria yang diduga milik mantan presiden Soeharto serta mengungkap harta kekayaan anak-anak Soeharto di luar negeri.
Tapi pada tahun 2007 Mahkamah Agung memenangkan gugatan mantan presiden Soeharto terhadap majalah TIME Asia tersebut. Dengan putusan tersebut, majalah TIME Asia diperintahkan membayar ganti rugi immateriil senilai Rp 1 triliun kepada penguasa Orde Baru itu.
Kemudian pada hari Kamis 16 April 2009. Ma mengabulkan Peninjauan Kembali kasus tersebut sehingga Time tidak perlu lagi membayar Rp 1 triliun. Sumber : viva news
Dan Satu poin penting kasus ini adalah 4 Presiden & 8 Jaksa Agung Gagal Buktikan Pak Harto Korupsi. sumber : detiknews - HPH Dan Dana Reboisasi
Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000 tentang penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus dengan kerugian negara Rp 15 triliun (versi Masyarakat Transparansi Indonesia). Yang terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo Pangestu, sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto.
Bob Hasan telah divonis enam tahun penjaradi LP Nusakambangan, Jawa Tengah. Prajogo Pangestu diseret sebagai tersangka dana reboisasi proyek hutan tanaman industri (HTI) PT Musi Hutan Persada, yang diduga merugikan negara Rp 331 miliar. Dalam pemeriksaan, Prajogo, yang dikenal dekat dengan bekas presiden Soeharto, membantah keras tuduhan korupsi. Sampai sekarang nasib kasus ini tak jelas kelanjutannya. - Edi Tansil / PT. Golden Key
Eddy Tansil (lahir tahun 1954) adalah seorang pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yang keberadaanya kini tidak diketahui. Ia melarikan diri dari penjara Cipinang, Jakarta, pada tanggal 4 Mei 1996 saat tengah menjalani hukuman 20 tahun penjara karena terbukti menggelapkan uang sebesar 565 juta dolar Amerika (sekitar 1,5 triliun rupiah dengan kurs saat itu) yang didapatnya melalui kredit Bank Bapindo melalui grup perusahaan Golden Key Group.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Eddy Tansil 20 tahun penjara, denda Rp 30 juta, membayar uang pengganti Rp 500 miliar, dan membayar kerugian negara Rp 1,3 triliun. Sekitar 20-an petugas penjara Cipinang diperiksa atas dasar kecurigaan bahwa mereka membantu Eddy Tansil untuk melarikan diri.
up from:
No comments:
Post a Comment